25 Okt 2012

20 Days Project (bagian 3)


 

Di sebuah lorong yang sangat panjang, terlihat seorang pemuda yang berjalan dengan memakai jas lab berwarna putih. Di punggungnya, tersandang tas punggung berwarna hitam dengan inisial R. Dia membawa buku dan kertas satu tumpuk di kedua tangannya.
“Rizaal!!!!” seorang pemuda yang juga ber-jas lab putih berteriak memanggil pemuda pertama yang ternyata Rizal. 
Rizal menengok ke belakang. Lalu tersenyum kepada pemuda satunya.
“Ada apa? Apa Kau merindukanku?”
“Kuda lo!!”
“Hehe, memangnya kenapa Kau memanggilku berteriak-teriak begitu?”
“Cuma seneng aja liat lo balik ngampus lagi. Ada apa nih?”
Rizal tersenyum. Lalu meninggalkan sahabatnya itu.
“Kuda Lo!!”
“Dari pada lo, Ozi… Ozilla… Apa? Gozilla? Hahaha…”
Ozi yang sudah ditinggalkan oleh Rizal berlari-lari sepanjang lorong untuk mengejar Rizal.
“Zal… Zal…,” panggilnya. “Zal… apa ada masalah? Biasanya lo gak bakal datang ke kampus kalo gak ada ujian kan? Ada apa? Apa lo mau di DO? Hahaha.”
“Alhamdulillaaahh. Akhirnya, kawan gue di DO juga…” lanjutnya.  
“Sialan! Serius dikit kek. Ehm. Kau tahu kasus BATAN? Aku penasaran dengan hal itu. aku sudah muak dengan kuliah sebenarnya. Tapi aku masih penasaran dengan hal yang satu itu. Jika aku tak pergi ke kampus, aku tak akan mendapatkan pengetahuan tentang nuklir. Kau tahu? Hanya di kampus aku bisa mendapatkan rumus-rumus dan teori mengenai nuklir.”
Well, hanya orang-orang jenius dan gila saja yang muak dengan kuliah. Dan lo adalah salah satunya orang gila nan jenius itu bro! Aneh aja gak lo manfaatin sebaik mungkin otak gila lo itu.”
“Maka dari itu, kawan. Aku akan memanfaatkan ilmuku untuk hal yang satu ini.”
***
“Bapak? Bapak?.... Mol.. Apakah ini kakekmu? Bapak?” Ibu terus menatap Kakek seolah tak percaya bahwa orang yang selama ini menghilang dari hadapannya tiba-tiba muncul dengan segar dan bugar.
“Iya Bu, ini kakek. Aku tadi bertemu dengannya di jalan,” Aku tersenyum lembut menatap Ibu. Kasihan dia, sekian lama menunggu di depan rumah hari ini dia bisa bertemu dengan orang yang dia tunggu. Aku benar-benar salut dengan ibuku. Dia tidak pernah menikah lagi walaupun ayah sudah meninggal selama berpuluh-puluh tahun walau banyak orang yang melamarnya. Ya, ibuku sangat cantik sekali. Hingga punya anak sebesar aku pun, kecantikannya tidak berkurang sedikitpun. Ibu juga selalu menunggu kakek di depan rumah setiap sore seperti ketika kakek masih bekerja dulu. Akhirnya, setelah lama kesetiaan ibu berjalan, dia dapat bertemu dengan kakek juga.
“Bapaakk… Bapakk… huhuhu…” Ibu menangis menggeru-geru.
“Azizah… Maafkan Bapak karena sudah membuatmu menunggu. Aku… benar-benar minta maaf.”
“Iya Pak. Pokoknya Bapak sudah pulang saja Azizah sudah senang kok Pak.”
“Bapak sudah makan? Aku akan menyiapkan makanan kesukaan Bapak..”
Kakek mengangguk-angguk senang. Ibu terus berceloteh tentang masa lalu di mana keluarga kami masih utuh dan menjalani hidup bersama, kakek menyimak semua perkataan ibu dengan seksama sesekali menimpali dan mengenang kenangan-kenangan mereka. Di saat inilah aku meninggalkan mereka berdua. Biarlah mereka menikmati kebersamaan mereka.
***
“Bos, semua poster kakek tua itu sudah saya sebar ke seluruh pelosok sebagai buronan. Apa perlu saya perintahkan semua media cetak dan televisi?”
“##DOH!!! Kenapa Tanya? Lakukan saja semua hal yang bisa membuat kakek itu kembali ke tangan kita. Dia menyimpan informasi yang dapat menghancurkan kita!!”
***

bersambung...........