20 Agu 2014

Benarkah Membunuh Halal?

Beberapa saat yang lalu saya membaca sebuah tulisan di kompasiana, kalau tidak salah judulnya adalah “Muslim vs Yahudi, Kita Kehilangan Akal Sehat?”. Di dalam tulisan tersebut kurang lebih di bahas tentang pembunuhan masal yang terjadi di Syria dan Gaza. Intinya, ada ketimpangan antara pemberitaan dan reaksi masyarakat Indonesia terhadap apa yang terjadi di Gaza dan Syria tersebut. Sama-sama ada peperangan, sama-sama ada pembantaian masal, akan tetapi kejadian yang di Syria tak mendapat sorotan dan seakan bukan masalah bagi masyarakat Indonesia, sedangkan di Gaza, langsung mendapatkan feedback luar biasa di masyarakat Indonesia. Dalam tulisan tersebut, sang penulis juga bertanya, “Apakah gambar tersebut benar?”. Sekedar info, sang penulis menulis tulisan tersebut berdasar sebuah meme yang mengatakan bahwa 170.000 Muslim dibantai oleh Muslim tidak ada yang bergolak, tetapi 100 Muslim Gaza dibantai Yahudi bergolak. Penulis juga mengatakan di dalam artikelnya, “Apakah jika Muslim kepada Muslim lainnya saling bunuh adalah ‘halal’ sedangkan jika Muslim dibunuh agama lainnya ‘haram’?
Baik, sekarang saya menjawab pertanyaan dari penulis tulisan tersebut. Gambar tersebut benar. Ya, memang benar, di Syria telah terjadi peperangan saudara yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun dan menewaskan banyak warga bahkan lebih dari 170.000 orang. Bagi Anda yang belum tahu, peperangan di Syria tersebut terjadi karena ada permusuhan antara dua golongan Islam terbesar di dunia yaitu Sunni dan Syiah. Jika Anda masih bertanya-tanya mengapa antar dua golongan Muslim saling berperang? Jika saya menjelaskan akan sangat panjang. Jadi, sudah saatnya Anda mendalami lebih dalam lagi sejarah munculnya Syiah dan Sunni dalam ajaran Islam. Memang, di dalam Alquran pun sudah diramalkan akan kemunculan golongan-golongan di dalam Islam. Errr.... saya tidak akan menjelaskan perbedaan antara Syiah dan Sunni di sini, karena isu ini sangat sensitif dan bisa merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Ada baiknya Anda mencari tahu sendiri.
Inti tulisan saya adalah di dalam Islam tak pernah diajarkan untuk membunuh, baik membunuh kaum seagamanya maupun membunuh kaum lain agama. Di dalam Alquran sendiri telah dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 125 bahwa jika berdebat dengan musuh haruslah menggunakan bahasa yang baik dan harus ada hikmahnya, bukan malah menjelek-jelekkan. Alquran juga mengajarkan untuk membalas ‘serangan’ musuh dengan balasan yang setimpal dan adil: bukan lebih.
TAK PERNAH ADA SATU AYATPUN DALAM ALQURAN YANG MENYURUH UNTUK MEMBUNUH. Memang, benar ada di dalam Alquran yang mengatakan bahwa membunuh orang kafir adalah halal. Akan tetapi, kita tidak bisa mengambil satu ayat itu secara terpisah dan dikutip secara serampangan. Orang kafir yang dimaksudkan adalah orang kafir yang jelas-jelas telah menyerang dan menghancurkan orang Islam. Jika orang itu berteman karib dengan kita dan tak pernah berniat merusak kita, mengapa harus diperangi? Itu sangat tidak manusiawi. Bahkan pada masa kekhalifahan Abbasiyah di masa lampau, Raja juga memperkerjakan orang-orang non-Muslim kok. Sekali lagi, kita tidak bisa mengambil ayat itu secara sembarangan, karena masih ada ayat lain yang sudah saya jelaskan pada paragraf sebelumnya. Membunuh adalah langkah terakhir jika pendekatan untuk berbicara baik-baik dengan cara apapun sudah tidak mempan lagi.

Wallahu A’lam

Terkenang Simbah

Tak pernah kusangka, hari raya menjadi sebuah hari yang sangat berbeda tanpa kehadiran mereka berdua: kakek dan nenekku.
Awal tahun ini, di masa liburan semester perkuliahanku, secara tiba-tiba keluarga kecil kami mendapatkan telepon dari kerabat yang rumahnya berdampingan dengan kakek. Katanya, kakek jatuh dan tak sadarkan diri. Keluarga kecil kami panik takut ada apa-apa dengan kakek. Ibu dan Bapak yang waktu itu tengah bersiap-siap untuk sebuah acara, langsung membatalkan acara itu dan bergegas menuju rumah sakit. Di rumah sakit, dokter mengatakan kakekku mengalami stroke. Entah stroke itu akibat dari jatuhnya, ataukah sebab dari jatuhnya. Kakekku koma, tak membuka mata sama sekali. Yang kutahu bahwa di masih ada adalah nafasnya yang memburu dengan bantuan alat pernafasan serta sebuah alat pendeteksi detak jantung (aku tidak tahu namanya) yang masih berbunyi “tut tut tut”. Tiga hari kakekku di rumah sakit, aku pergi mengunjunginya. Hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku, nafas kakek tersengal dan alat pendeteksi detak jantung berbunyi “tut” panjang. Tak ada diagram yang seperti gunung lagi, semuanya seperti dataran: lurus. Beberapa detik kemudian, dokter dan perawat-perawat berlarian menuju ruang kakek dan memberi alat kejut. Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Begitu mereka menghitung. Aku pun tak pernah menyangka, saat itu aku berada tepat di depan Izrail yang sedang mengambil nyawa kakekku.
Pertengahan tahun ini, tepat pada hari terakhir Ujian Akhir Semester (UAS), Bapakku telepon. Katanya, nenek pingsan dan tak sadarkan diri: persis dengan kejadian kakekku. Bapak memintaku pulang segera setelah selesai UAS. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menyuruhku pulang. Tapi aku tahu, dia khawatir nenek mengalami hal yang sama dengan kakek. Sama halnya dengan aku. UAS-ku hari itu berlangsung satu hari penuh, maka aku langsung pulang keesokan harinya dengan meninggalkan kamarku yang masih berantakan akibat kehebohan tugas-tugasku di masa Minggu UAS. Apalagi alasannya jika bukan karena telepon itu. Beberapa minggu setelah nenek di rawat di rumah sakit, nenek boleh pulang. Nenek terdiagnosis stroke, mengalami koma, dan tetap tak sadarkan diri. Maka, dokter mengatakan jika nenekku lebih lama di rumah sakit, dia justru akan terserang banyak penyakit. Keluarga kami pun membawanya pulang dan dirawat di rumah. Hari ke hari, kesadaran nenek mulai membaik: membuka mata, menggerak-gerakkan tangan dan mendapatkan asupan makanan. Tidak lagi menggunakan infus seperti ketika masih di rumah sakit. Keluarga kami secara berganti-ganti mendampingi nenek. Pakdhe, budhe, paklek, bulek, cucu-cucunya, semuanya urun tangan merawat nenek. Satu bulan semenjak pingsannya, nenek tak menunjukkan perkembangan lebih lanjut selain membuka mata dan menggerakkan tangan. Itupun hanya beberapa menit, tidak lebih. Hari itu, hari ke dua puluh lima, setelah Shubuh bapakku mengunjungi nenek yang dirawat di rumah bulek. Tidak lama dia pulang, mengganti baju dan berangkat lagi. Berselang beberapa menit, ibuku mendapat telepon dari bapak. Ia pun bergegas menuju rumah bulek: nenek telah tiada.
Di tahun yang sama, tahun ini, aku tidak memiliki simbah sama sekali. Lebaran menjadi amat sangat sepi: sepi dalam makna yang sebenarnya karena tidak ada lagi yang menjadi tujuan ‘pulang’. Di tahun lalu, lebaranku masih ‘nyenyak’ bersama mereka. Masih juga mendapatkan THR dari mereka. Haha. Tahun ini, sangat lain. Tak ada lagi suara ramah mereka ketika menjamu tamu dan tak ada lagi THR untukku. Baiklah, kalimat terakhir hanya gurauan saja.
Semoga Allah merahmati mereka berdua dan memasukkannya menjadi golongan orang-orang beriman.