Assalammualaikum teman-teman..
Kali ini saya meng-upload sebuah
cerita yang saya susun berdasarkan obsesi saya terhadap cerita-cerita thriller
yang sering saya temui pada novel dan film. Sedikit banyak saya mencontek alur
dan setting-nya. Bisa dibilang plagiasi juga sih. Terkadang jijik juga menjadi
plagiator seperti sekarang ini. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
membuat alur cerita yang original, tapi apa boleh buat, ketika saya membaca
atau menonton sebuah film, alur-alur dari cerita lain pun menyusup. Buas, di
bawah kesadaran saya sendiri. Inilah hasil plagiasi dari cerita-cerita
tersebut. Belum bisa disebut sebagai cerita dengan alur yang memuaskan. Jadi,
silahkan dibaca dan dikomentari sepuasnya… J
PROLOG
Juni, 2007, Suatu malam.
Waktu sudah menunjukkan dini hari. Seorang lelaki tua berlari
terhuyung-huyung sambil memegang pahanya yang terus mengucurkan darah. Rentetan
tembakan mengiringi langkahnya. Beberapa laki-laki berseragam loreng menyusul
langkah lelaki tua itu berderap-derap. Senjata api laras panjang tergenggam di
tangan mereka.
“Berhenti!!! Kau sudah ditahan!!!,” teriak salah satu laki-laki
berseragam loreng. Lelaki tua terus berlari tak mengindahkan peringatan si
laki-laki berseragam loreng.
“Jangan bergerak!!!, atau kami terpaksa menembak Anda, Tuan!!!,”
teriak laki-laki berseragam loreng lagi. Letusan senjata api terdengar di
udara.
“AARRGGHHHHH…..,” Terdengar suara kesakitan seorang laki-laki.
“BRUKKK,” lalu suara benda jatuh mengiringi teriakan itu.
Lelaki tua terdiam. Matanya menggelap. Tak satupun cahaya memantul
ke retinanya. Tak satupun bayangan dapat terekam oleh penglihatannya.
“Apa aku sudah mati?” katanya dalam hati.
“Kau belum mati, Tuan,” Bisikan lembut tertangkap oleh indra
pendengarannya. Begitu dekat. Ah, dia sadar. Dia sedang disekap oleh seseorang.
Dia mencoba menggerakkan tubuh. Melawan. Gagal. Tangan dan kakinya telah
terkunci.
Sesosok siluet tampak menutup mata dan mulutnya. Sebelumnya, siluet
itu telah muncul dan memberikan totokan ringan pada kaki dan tangan lelaki tua
itu sehingga dia tidak dapat bergerak. Mereka bersembunyi di sebuah gang.
Tersembunyikan oleh gelapnya malam dan bayangan bangunan-bangunan.
“Komandaaan… yang tertembak anggota satuan kita,” teriak laki-laki
berseragam loreng kepada laki-laki berseragam loreng lainnya yang dipanggil
dengan komandan.
“Grrrr…. Laki-laki tua sialan!!, cepat cari dia!!” Asap kretek
mengepul dari mulut komandan seketika.
“Siap, komandan!!” serempak,
se-pleton laki-laki berseragam loreng menjawab perintah.
Laki-laki tua menggeliat lagi. Mencoba meloloskan diri.
“Jangan bergerak, Professor, atau para tentara itu akan menangkap
kita berdua.”
“Bangsat!!! Siapa Kau? Lepaskan aku!!” kata lelaki tua itu
mendesis.
“Sssstt.. sudah kubilang jangan bergerak.”
Professor menggeliat lagi.
“Baiklah terpaksa aku
melakukan ini,” kata suara penyekap professor tua itu. Dia mengeluarkan sesuatu
dari sakunya lalu menusukkan ke tubuh Professor.
“Ka.. Ka.. Kau.. Siapa Kau?” Professor-pun ambruk seketika.
***
Yang Fana Adalah Waktu
Yang fana adalah waktu. Kita
abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
(Sapardi Djoko Damono)
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Kumpulan Sajak,
1982.
I
5 tahun kemudian.
Agustus, 2012.
“BATAN
Kemalingan”
Headline yang
terpampang hampir di semua harian pagi. Penjaja koran diperempatan jalan yang
biasanya disibukkan dengan skandal ala artis ibukota, kini sibuk dengan isu
yang tengah naik daun. Sains yang bersekutu dengan politik.
“Dik,
lihat satu dong!” panggilku pada seorang bocah yang duduk termangu di sudut
halte. Kasihan, anak sekecil ini harus berjualan koran ditengah keganasan
ibukota. Usianya sekitar 7 tahun. Seumuran dengan adikku yang paling kecil.
Bocah itu mendekat.
“Sekolah,
Dik? Kelas berapa?” Tanyaku setelah bocah itu menyerahkan koran terakhirnya
kepadaku.
“Sekolah
kok mbak, saya kelas 1 SD”, jawabnya. Aku termanggut mendengar jawabnya. Jam 8
pagi berada di Halte berjualan Koran. Aku merasa maklum mendengar jawabannya.
Mungkin masuk siang, pikirku.
“Hari
ini sekolah libur, katanya guru-guru pada ikut demo ke kantor BATAN meminta
segera diusut siapa yang telah mencuri partikel radioaktif yang baru ditemukan
oleh BATAN”, kata seseorang yang tiba-tiba muncul dari belakangku. Lalu
mengelus kepala bocah itu.
“Saya
kakak dari bocah ini”, katanya lagi. Menjawab pertanyaan yang baru muncul
dipikiranku.
“Oh”,
gumamku.
“Jaman
sekarang tak ada yang tidak dilebih-lebihkan. Media selalu memberitakan apa
yang kira-kira akan membuat produknya cepat laku. Berita yang tak akuratpun
juga diterbitkannya. Tak peduli bagaimana efek dan kelanjutan kisahnya. Ah,
barangkali mereka justru lebih senang kalau dengan berita yang mereka buat,
berita yang lebih meledak lagi mencuat ke permukaan. Lalu membuat berita yang
lebih meledak dari berita yang sebelumnya”, kata orang itu sambil tertawa
kecil.
“Salman,
apa kakak bilang, jangan pakai baju itu lagi dong, lain kali kalau ikut kakak
pakai baju yang lain ya! Baju kamu kan banyak, kemarin juga baru dibelikan
mama. Tuh, kakak ini nganggep kamu jualan koran”, Kata orang itu pada Salman,
bocah penjual Koran. Ups, aku salah duga. Anak itu bukan penjual koran tapi….
“Koran
itu koran Papa saya, Kak. Tadi Papa pesan pas kita mau keluar cari sarapan”,
aku membulatkan bibirku membentuk huruf O. Lalu menggumam panjang tanda paham.
Aku malu. Benar-benar malu. Aduh, kenapa begini. Kebiasaanku yang selalu
berpikir menurut penglihatanku saja sepertinya harus segera diubah.
“Maaf”,
kataku. “Saya tidak tahu, emm nama saya Mauli, salam kenal”, Lanjutku lalu
membungkukkan badan sedikit.
“Ya,
tidak apa-apa. Memang sudah biasa begini, adik saya yang satu ini memang paling
sulit untuk diatur, banyak juga orang yang menganggap seperti itu. Oh ya, nama
saya Rizal. Panggil saja saya Rizal. Sepertinya lebih santai kan? Kami pulang
dulu ya, Mauli”, kata orang yang namanya Rizal itu.
“Iya,
hati-hati. Awas adiknya jangan sampai ketinggalan lagi”, candaku. Sok kenal
sedikit tidak apa-apa kan? Lagi pula, tampangnya juga lumayan. Ehm.
Rizal
hanya tersenyum. Lalu masuk mobil. Ah, lagi-lagi tersenyum. Ganti aku yang
tersenyum lalu masuk bus yang sudah datang menjemputku.
Obrolan
mengenai Rizal dan adiknya yang kuanggap sebagai penjual koran melupakanku pada
objek pemikiranku tadi. Sampai di mana tadi? Oh, aku ingat. BATAN yang
kemalingan. Beberapa hari yang lalu, BATAN secara langsung mengumumkan kepada
masyarakat Indonesia mengenai penemuan mereka akan partikel radioaktif yang
baru. Sudah sejak lama BATAN melakukan penelitian mengenai hal ini. mereka
percaya, jika mereka bisa menemukan partikel radioaktif baru, mereka dan Indonesia
tentunya, akan mendapatkan sumber energi yang lebih menguntungkan negara jika
minyak bumi habis nantinya.
Memang
bukan hal yang mustahil untuk menciptakan partikel radioaktif baru. Marie Curie
bersama suaminya Pierre Curie pada tahun 1989, menemukan partikel radioaktif
baru yang mereka beri nama Radium.
Penemuan partikel radioaktif baru oleh BATAN ini jelas memicu
kontroversi dari berbagai pihak. Mulai dari WALHI, Perkumpulan Dokter
Indonesia, Asosiasi Petani Indonesia, Organisasi-organisasi mahasiswa, dan
berbagai macam organisasi kemasyarakatan lain menolak dengan lantang penemuan
ini. Alasannya, mereka tidak mau membuat lingkungan tercemar oleh zat-zat
radioaktif.
Ya, lagi-lagi mereka masih mengaitkan antara radioaktif dengan
kecelakaan reaktor Chernobyl di Uni Soviet. Memang kejadian itu sangatlah
mengerikan bagi semua orang. Apalagi baru-baru ini ada kejadian lagi yang
menghebohkan dunia. PLTN di Jepang mengalami kebocoran karena guncangan gempa.
Radiasi dari zat radioaktif memang sangat berbahaya bagi kelangsungan makhluk
hidup.
Kurasa memang tak ada salahnya jika masyarakat banyak yang tidak
setuju dengan upaya penyelamatan energi melalui nuklir itu. Nuklir memang….
“Hahaha, masyarakat kita itu terlalu kolot, Bang! Nuklir kan tak
selamanya buruk. Bayangkan, nuklir itu digunakan juga untuk perawatan kanker
lho. Abang ndak percaya? Cobatanya deh sama dokter. Kemoterapi itu pakai
nuklir. Banyak pasien kanker yang sudah mencapai stadium lanjut berkurang
penyakitnya jika menerima kemoterapi. Kalau saja, tak ada nuklir, pasti banyak
masyarakat kita yang mati, Bang! Nuklir tak selamanya buruk. Tinggal bagaimana
kita yang menggunakannya saja kok.” Seorang lelaki separuh baya yang duduk di
belakangku membuyarkan lamunanku. Nampaknya ia sedang bercakap-cakap dengan
topik yang sama denganku. Bedanya, aku melamun. Dia berbincang-bincang dengan
orang yang dia panggil Abang disebelah tempat duduknya.
“Ah, bagaimanapun, saya tetap tidak setuju pemakaian nuklir lho,
Bang! Kali ini feel saya yang berbicara. Kalau sudah begini, alasan
rasional bagaimanapun tidak bisa mengalahkan argumen saya yang irrasional ini.
Pokoknya, saya tidak setuju dengan adanya nuklir.” Suara seorang laki-laki yang
dipanggil Abang terdengar kontra dengan laki-laki yang pertama.
“Saya juga tidak setuju, Mas. Bahaya. Saya dengar, orang Jepun
banyak yang sakit kolera gara-gara nuklir-nuklir itu. Saya tidak tahu, apa itu
nuklir. Tapi sepertinya seperti makanan yang beracun.” Kali ini seorang
kakek-kakek menimpali perdebatan kecil kedua lelaki tadi. Gelak tawa terdengar
menggelegar setelah kakek berbicara. Rupanya penumpang bus ikut menyimak
percakapan ini tadi. Sang kakek hanya terlihat bingung dengan keadaan
sekitarnya. Aku ikut tersenyum.
HHhhhh…. Aku memejamkan mata
dan menarik nafas panjang. Perdebatan hanyalah sekadar pemanis bibir saja kalau
tak ada konklusinya. Kata dosenku, debat semacam ini disebut sebagai debat
kusir. Hanya bersilat lidah saja, lalu jika percakapan usai, selesailah
permasalahan. Tak ada tindak lanjutnya.
“Mbak, turun mana?” suara kondektur bus, memecah lamunanku. Aku
tergeragap. Ah, aku lupa kalau aku harus turun di halte sebelum ini.
“Sekarang jam berapa, Pak?” tanyaku aneh. Dan anehnya, meskipun aku
sadar kalau pertanyaanku aneh, tetap saja ku lontarkan.
Pak kondektur hanya memicingkan mata, lalu menunjuk jam tangan yang
terlingkar di pergelangan tanganku. Orang aneh, barangkali pikirnya. Punya jam
tangan tapi masih bertanya.
“Turun mana Mbak?” Tanyanya satu kali lagi.
“Halte depan Kantor Pos, Pak,” jawabku innocent.
“Itukan sudah terlewat, Mbak. Gimana sih Mbak, cantik-cantik kok
aneh.”
“Ya sudah Pak, turun sini saja,” kataku.
“Kiri.. kiri.. kiri….” Teriak pak Kondektur kepada Sopir. “Kaki
kiri dulu, hati-hati,” Katanya lagi. Aku menuruti katanya. Toh tak ada ruginya bagiku.
Kalau aku tak menuruti kata-kata kondektur, biasanya mereka akan marah dan
mengomel panjang tak karuan.
Hap. Aku pun turun di pinggir jalan. Cukup jauh untuk menuju tempat
tujuanku tadi. Jadi, aku memutuskan untuk mencari kendaraan umum lagi untuk kembali
ke tempat tujuan asalku.
“Mbak Mauli ya?” Tanya sebuah suara di belakangku.
“Eh? Seterkenal itukah aku?”
Penasaran mengenai siapa yang mengenalku di jalan seperti ini, aku
pun berbalik.
“Siapa Kau?”
***
0 komentar:
Posting Komentar
Minta komentarnya dong, Kak! :)