Tak pernah kusangka, hari raya menjadi sebuah hari yang
sangat berbeda tanpa kehadiran mereka berdua: kakek dan nenekku.
Awal tahun ini, di masa liburan semester perkuliahanku,
secara tiba-tiba keluarga kecil kami mendapatkan telepon dari kerabat yang
rumahnya berdampingan dengan kakek. Katanya, kakek jatuh dan tak sadarkan diri.
Keluarga kecil kami panik takut ada apa-apa dengan kakek. Ibu dan Bapak yang
waktu itu tengah bersiap-siap untuk sebuah acara, langsung membatalkan acara
itu dan bergegas menuju rumah sakit. Di rumah sakit, dokter mengatakan kakekku
mengalami stroke. Entah stroke itu akibat dari jatuhnya, ataukah sebab dari
jatuhnya. Kakekku koma, tak membuka mata sama sekali. Yang kutahu bahwa di
masih ada adalah nafasnya yang memburu dengan bantuan alat pernafasan serta
sebuah alat pendeteksi detak jantung (aku tidak tahu namanya) yang masih
berbunyi “tut tut tut”. Tiga hari kakekku di rumah sakit, aku pergi mengunjunginya.
Hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku, nafas kakek tersengal dan
alat pendeteksi detak jantung berbunyi “tut” panjang. Tak ada diagram yang
seperti gunung lagi, semuanya seperti dataran: lurus. Beberapa detik kemudian,
dokter dan perawat-perawat berlarian menuju ruang kakek dan memberi alat kejut.
Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Begitu mereka menghitung. Aku pun tak pernah
menyangka, saat itu aku berada tepat di depan Izrail yang sedang mengambil
nyawa kakekku.
Pertengahan tahun ini, tepat pada hari terakhir Ujian Akhir
Semester (UAS), Bapakku telepon. Katanya, nenek pingsan dan tak sadarkan diri:
persis dengan kejadian kakekku. Bapak memintaku pulang segera setelah selesai
UAS. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menyuruhku pulang. Tapi aku tahu, dia
khawatir nenek mengalami hal yang sama dengan kakek. Sama halnya dengan aku.
UAS-ku hari itu berlangsung satu hari penuh, maka aku langsung pulang keesokan
harinya dengan meninggalkan kamarku yang masih berantakan akibat kehebohan
tugas-tugasku di masa Minggu UAS. Apalagi alasannya jika bukan karena telepon
itu. Beberapa minggu setelah nenek di rawat di rumah sakit, nenek boleh pulang.
Nenek terdiagnosis stroke, mengalami koma, dan tetap tak sadarkan diri. Maka,
dokter mengatakan jika nenekku lebih lama di rumah sakit, dia justru akan
terserang banyak penyakit. Keluarga kami pun membawanya pulang dan dirawat di
rumah. Hari ke hari, kesadaran nenek mulai membaik: membuka mata,
menggerak-gerakkan tangan dan mendapatkan asupan makanan. Tidak lagi menggunakan
infus seperti ketika masih di rumah sakit. Keluarga kami secara berganti-ganti
mendampingi nenek. Pakdhe, budhe, paklek, bulek, cucu-cucunya, semuanya urun
tangan merawat nenek. Satu bulan semenjak pingsannya, nenek tak menunjukkan
perkembangan lebih lanjut selain membuka mata dan menggerakkan tangan. Itupun
hanya beberapa menit, tidak lebih. Hari itu, hari ke dua puluh lima, setelah
Shubuh bapakku mengunjungi nenek yang dirawat di rumah bulek. Tidak lama dia
pulang, mengganti baju dan berangkat lagi. Berselang beberapa menit, ibuku
mendapat telepon dari bapak. Ia pun bergegas menuju rumah bulek: nenek telah
tiada.
Di tahun yang sama, tahun ini, aku tidak memiliki simbah
sama sekali. Lebaran menjadi amat sangat sepi: sepi dalam makna yang sebenarnya
karena tidak ada lagi yang menjadi tujuan ‘pulang’. Di tahun lalu, lebaranku
masih ‘nyenyak’ bersama mereka. Masih juga mendapatkan THR dari mereka. Haha.
Tahun ini, sangat lain. Tak ada lagi suara ramah mereka ketika menjamu tamu dan
tak ada lagi THR untukku. Baiklah, kalimat terakhir hanya gurauan saja.
Semoga Allah merahmati mereka berdua dan memasukkannya
menjadi golongan orang-orang beriman.
0 komentar:
Posting Komentar
Minta komentarnya dong, Kak! :)