25 Okt 2012

20 Days Project (bagian 2) Pertemuan



sumber gambar: http://abangasrian.blogspot.com/2012/04/pertemuan.html

“Maulida Ruslikh Rachmawati…” Professor Abdul mengabsen seluruh mahasiswa yang sedang ada di kelas. Mengabsen adalah favoritnya. Mengabsen mahasiswa adalah hobinya. Mengabsen mahasiswa membuatnya mengenal mahasiswa lebih dekat. Dengan mengabsen mahasiswa, dia lebih mudah untuk menentukan mahasiswa tersebut lulus atau tidak. Dua kali tidak masuk kelasnya dengan alasan apapun, mahasiswa itu tidak lulus. Creepy.
“Maulida Ruslikh Rachmati…” kata Professor Abdul lagi. Mengecek sekali lagi apakah mahasiswanya itu masuk atau tidak. Jika ada yang tidak masuk kelasnya, dia langsung tersenyum kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Super duper creepy.
“Apa Mauli tidak hadir?”
“Tidak Paaakk.”
“Kemana Mauli?”
***
“Siapa Kau?”
“Saya? Ah, Uh, Oh… Saya bukan orang jahat Mbaak…” Kata laki-laki tua itu. Aku agak sangsi dengan kebenaran kata-kata laki-laki tua itu. Dia gemetaran dan matanya sayu, penuh dengan tatapan ketakutan. Dari perawakannya, dia seperti sudah berumur 70 tahun. Dia memakai baju safari yang sudah lusuh, Tas kulit hitam yang warnanya mulai memudar dan sepatu kulit yang benar-benar tidak rupawan lagi. Benarkah dia tidak jahat?
“Bagaimana saya tahu kalau Kakek tidak jahat? Orang yang mengerti nama saya tidaklah banyak. Lalu Kakek, dari belakang saja sudah tahu kalau itu adalah saya. Mauli”
“Jadi Kau benar-benar Mauli, bukan? Mauli-ku? Mauli? Kau sudah sebesar ini rupanya,” sekarang, laki-laki tua itu menatapku kegirangan. Seperti menemukan saudaranya yang tidak pernah bertemu selama beberapa tahun.
“Apakah Kakek pernah mengenalku sebelumnya?” tanyaku.
“Tentu saja. Sejak kau masih kecil, aku selalu menggendongmu kemana-mana, ketika Kau sekolah, aku yang mengantarmu dan menjemputmu. Apa Kau tidak mengingatku?” kini, laki-laki tua itu menatapku penuh harap. Sepertinya, dia memang benar-benar mengenalku. Tapi, siapa dia?
“Apa Kau benar-benar lupa kepadaku? Kalau begitu, apa Kau ingat ini?” Tanya laki-laki tua itu sembari mengeluarkan barang dari dalam tas lusuhnya. Suatu benda yang ditunjukkan kepadaku membuatku tercengang dan memundurkan ingatanku kepada ingatanku beberapa tahun silam. Kertas ulangan bernilai 90.
“Kakeekk, Mauli berangkat sekolah ya? Hari ini pokoknya aku mau berangkat sendiri. Aku tidak mau diantar kakek. Aku malu sama teman-teman. Mereka semua diantar  ayahnya yang masih muda-muda dan aku diantar kakek. Kakek sudah tidak muda seperti ayah teman-temanku. Aku berangkat sekolah sendiri, ya?”
“Apa Kau berani berangkat sendiri? Nanti kalau ada apa-apa denganmu bagaimana? Kakek kan khawatir denganmu nak.”
“Berani. Pokoknya Mauli berangkat sendiri. Tapi nanti pulangnya dijemput sama Kakek ya”
“Aaaahh, Kau belum berani rupanya. Hahaha. Ya sudah, nanti pulangnya kakek jemput setelah Kakek bekerja ya?”
“Oke Kakek! Mauli berangkat dulu ya? Oh ya Kek, ini nilai ulangan bahasa Indonesia-ku kemarin. Bagus kan?” Aku memberikan secarik kertas kepada Kakek. Kertas hasil ulangan yang disana tertera nilai ulangan bahasa Indonesiaku.
“Hmm… Nanti, kalau aku sudah besar, aku mau jadi wartawan Kek. Seperti Ayah. Aku berangkat ya Kek, Assalammualaikuum,” kataku. Ternyata saat itu adalah saat di mana aku terakhir kali bertemu dengan kakek. Sepanjang sore, aku menunggu kakek datang untuk menjemputuku. Akan tetapi dia tidak kunjung datang untuk menjemputku.
“Jadi Kau???”

***
Di sebuah gedung yang megah, seorang laki-laki berumur tigapuluh-an berlari tergesa-gesa. Sesekali, tali sepatunya terinjak kakinya sendiri. Lalu jatuh tersungkur ke depan. Setelah itu dia berlari lagi dengan bibirnya yang berdarah karena terantuk lantai marmer.
“Booossss….” Teriaknya.
“Apa teriak-teriak? Apa kau sudah memberi makan kakek tua itu?”
“Itu dia masalahnya Bos. Kakek itu hilang. Sudah kucari ke seluruh gedung, tapi kakek itu tidak ada”
“###SAT!!!!!.... Apa Kau tidak becus menjadi pegawaiku? Sudah Kau cek lewat CCTV?”
“Belum, Bos!!”
“BO##H! Cepat cek CCTV!!” Bos marah dengan semarah-marahnya. Matanya merah dan mukanya merah padam menahan amarah. Asetnya yang paling beharga telah kabur dari dekapannya.
***













II
“Selama ini Kakek ada di mana? Aku dan Ibu sangat merindukan Kakek. Bagaimana kabar Kakek? Kenapa bajumu seperti ini? Aku sangat pangling lihat Kakek tadi. Kakekku yang sangat kubanggakan, jadi kulupakan,” Kini kami sedang berada di sebuah kafe. Aku mengajak Kakek ke sebuah kafe untuk berbincang dengannya lebih lanjut. Kakek ingin aku menyembunyikannya. Sepertinya dia sedang dikejar-kejar orang.
“Aku... Ah, sudahlah. Panjang sekali ceritanya Nak! bagaimana kabar ibumu?”
“Ibu.. semenjak Kakek menghilang, Ibu terus sakit-sakitan Kek. Apalagi sejak aku masih kecil, Ayah sudah meninggal. Tinggal Kakek yang menjadi acuan hidupnya,” aku menjawab pertanyaan kakek. Kakek terlihat tidak nyaman dengan jawabanku yang terakhir.
“Maafkan Kakek Mol!, bukannya Kakek ingin meninggalkan kalian. Kakek hanya sedang dalam masa-masa yang sulit untuk bertemu dengan kalian. Hari ini saja, Kakek kabur untuk menyiapkan hari ini.”
Kakek menatap meja dengan gusar. Sepertinya ada hal yang disembunyikannya.
“Kek, kita pulang ke rumah yuk! Ibu pasti sangat senang bertemu dengan Kakek. Dia tidak pernah mempercayai omongan tetangga yang mengatakan kalau Kakek telah meninggal. Dia terus menunggu kedatangan Kakek. Setiap hari, dia menunggu di teras rumah dan berharap Kakek akan datang dengan motor vespa Kakek yang dulu itu. Oya, ke mana motor Kakek?”
Kakek terdiam dan mematung. Dia diam dan sama sekali tidak bergerak.
“Kek? Kakek? Apa Kakek baik-baik saja?”

***
Waktu yang sama.
Gedung Harian Pagi “Sinar Nusantara”.
“Apa Mauli belum datang ke sini?”
“Belum mbak.”
Dua orang perempuan berbincang-bincang di sebuah kantor. Satu orang berperawakan kecil dengan rambut yang digulung ke atas dan memakai blazer hitam serta kemeja putih di dalamnya. Satu orang lagi, memakai kemeja biru dengan rok hitam dan rambut yang dicat pirang.
“Apa dia sudah mengirim berita untuk kita?” kata perempuan berblazer hitam.
“Belum Mbak,” jawab perempuan berambut pirang.
“Benarkah? Oya, dia meliput mengenai apa?”
“Dia meliput demo yang ada di depan kantor BATAN Mbak.”
“O, itu bisa menjadi headline kita untuk koran besok pagi. Cepat hubungi dia. Ancam dia dengan pemutusan magang jika dia tidak cepat-cepat menyelesaikan laporannya.”
“Siap! Bu direktur!!”
***
“Apa Kau sudah lihat rekaman CCTV?”
“Sudah Bos!”
“Apa hanya begitu? kau becus atau tidak sih bekerja. Kalau sudah lihat, laporannya bagaimana? Apa Kau harus terus ditanya hanya untuk menyampaikan apa yang Kau lihat? Kau pikir selamanya aku akan terus memberimu pertanyaan? Kau dibayar bukan hanya untuk menjawab pertanyaan, tahu!”
“Ba.. Ba.. Baik Bos!”
“Kakek itu, memang kabur dan sempat tertangkap CCTV ketika mengambil tasnya di ruang loker bos! Dia memakai baju safarinya seperti biasa. Mungkin kita bisa menyebarkan pamflet dengan foto kakek itu untuk menangkapnya kembali.”
“Bagus, segera kerjakan!”
“Eh? Si.. Si.. Siap Bos!”
***
“Kakek, kek, kek…” kataku sambil setengah memekik. Aku takut jika terjadi sesuatu dengan kakek. kami baru saja bertemu ditengah suasana yang tak terduga. Aku membatalkan kujunganku ke kantor redaksi untuk menyerahkan berita, juga membolos kuliah ketika bertemu kakek. Kakek adalah orang yang sangat penting untukku.
“Kakek… Kau tidak apa-apa kan?”
“Aku… Aku bukan orang jahat.. Saya bukan orang jahat… Lepaskan!! Lepaskan!!” Kakek meronta-ronta ketika kupegang. Sekali lagi, seperti ketika kutanya pada saat pertama bertemu tadi, matanya menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Sepertinya memang ada satu hal yang tidak bere dengan kakekku.
“Kek, Ini Mauli, cucumu. Apa Kau ingat denganku?” Aku membuka tas kakek. Dia sedikit meronta ketika aku melakukan hal itu. Sepertinya, dia ketakutan akan tindak tandukku.
“Cucuku bukan orang jahat. Aku bukan orang jahat. Aku tidak bawa apa-apa. Aku hanya ingin menjemput cucuku sekolah,” aku terhenyak dengan ucapan kakek. Apakah ingatannya terhenti di masa lalu? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kakek? Baju safari itu? ya, aku ingat. Itu baju yang sering dipakainya ketika berangkat bekerja. Lima tahun yang lalu, ketika dia menghilang, dia akan menjemputku ketika pulang bekerja. Apakah saat itu….
Kakek mendesis ketakutan. Menunduk lagi dan meringkuk seperti kucing yang kedinginan.
“Kek, ini Mauli… Kau ingat? Kau sering memanggilku Molly… Aku hanya ingin mengambil kertas ulangan bahasa Indonesiaku,” kataku menenangkan kakek. Kakek seperti bukan orang yang aku kenal lagi. Dia mendongak menatapku. Terus dengan tatapan yang penuh ketakutan.
“Kertas ulangan? Kertas ulangan Molly, cucuku. Kau kenal cucuku? Dia pandai. Dia ingin jadi wartawan seperti ayahnya. Dia bukan orang jahat,” kakek mulai melemah dan terisak.
“Aku Molly Kek. Aku sudah besar sekarang. Aku kuliah di Sastra Indonesia dan sudah semester 7. Aku jadi wartawan sekarang. Seperti Ayah,” mataku memanas. Hatiku terbakar. Siapa yang berani berbuat seperti ini kepada kakekku? Dia juga bukan orang jahat. Aku berjanji akan membalas siapapun yang memperlakukakn kakekku jadi seperti ini.
“Kakek… ini Molly Kek…. Mauli… huhuhu… Aku Molly… Kakek…” Aku terus menangis.
“Molly… Kau Molly… Ya, Kau Molly… Tadi aku melihatmu berbincang-bincang dengan pemuda. Lalu aku mengikutimu naik bus. Aku merindukan Molly, cucuku. Jadi aku bertanya, ‘Mbak Mauli ya?’ karena aku takut kalau dia bukan cucuku. Dia tidak ingat aku. Dia tidak ingat aku. Molly tidak ingat aku…”
“Maafkan aku kakek… tapi sekarang aku sudah ingat kakek. Kau kakekku. Kakekku yang setiap hari mengantar dan menjemputku sekolah. Kakek… ini Molly Kek…. Aku bukan orang jahat… “ Aku tersenyum lembut kepada kakek.
“Kau Molly? Mana Ibumu? Apa Molly masih malu diantar Kakek berangat ke Sekolah? Aku ingin mengantar Molly ke Sekolah. Tapi dia malu karena aku bukan ayahnya..” Dia kembali. Kakek kembali. Sepertinya kakek menerima tekanan yang sangat hebat sehingga dia seperti orang yang depresi dan melupakan sedikit ingatannya beberapa waktu yang lalu ketika kami bertemu.
“Aku Molly, Ibu baik-baik saja, dia ingin bertemu Kakek, Aku tidak malu lagi diantar Kakek berangkat sekolah. Maukah Kau mengantarku sekolah lagi?”
Kakek menatapku berbinar-binar. Ketakutannya seolah sirna. Dia menatapku dengan tatapan yang bermakna: ‘Aku bertemu cucuku. Cucuku. cucuku Molly’
***

0 komentar:

Posting Komentar

Minta komentarnya dong, Kak! :)