25 Okt 2013

Bahasa dan Jenis Kelamin

       Sekedar ingin berbagi kepada kawan-kawan tentang apa yang saya dapatkan dari belajar saya di bangku perkuliahan. Ini adalah tugas saya. Hasil pekerjaan saya dengan mengutip dari orang lain, tentu saja. Bukan masalah pengutipan yang terpenting, tapi yang penting adalah bagaimana kita mempersepsi bahasa yang kita gunakan sehari-hari :)

Bahasa yang digunakan oleh pria dan wanita mempunyai perbedaan. Perbedaan yang terjadi tidak ditunjukkan dengan struktur bahasa yang berbeda akan tetapi lebih kepada faktor-faktor non-linguistik. Faktor pembeda ini juga bukan karena faktor geografis, karena faktor geografis tidak mempengaruhi penggunaan bahasa seorang pria atau wnaita. Perbedaan bahasa antara pria dan wanita terjadi karena adanya judgemenet khusus dari masyarakat terhadap perbedaan jenis kelamin. Kategori sosial tertentu (usia dan jenis kelamin) bisa ditandai oleh perilaku komunikatif yang khas (Ibrahim, 1995: 82). Perilaku-perilaku tersebut diantaranya; gerak anggota badan, suara dan intonasi, juga fonem. Pada masyarakat arab, pria lebih banyak menggerakkan anggota badan daripada wanita sedangkan pada masyarakat Jawa, wanita lebih banyak menggunakan ekspresi wajah daripada wanita. Suara wanita lebih nyaring daripada pria dan pada bahasa tertentu wanita mengguankan fonem yang berbeda daripada pria. Perbedaan-perbedaan ini wajar dilakukan dalam masyarakat dan masyarakat mengganggap jika ada pria atau wanita yang melakukan tindakan di luar kebiasaan dianggap tidak wajar dan dicemooh.
Kasus perbedaan penggunaan bahasa antara pria dan wanita yang paling mencolok terjadi pada masyarakat Eropa di Hindia Barat, yang sebelumnya adalah negara otonom Belanda yaitu Antillen. Masyarakat di sana mengalami perbedaan ragam bahasa. Antara pria dan wanita masing-masing menggunkan kosakata dan frasa sendiri-sendiri dengan tidak mencampuri sama sekali. Mengenai penyebab dari perpecahan antara pria dan wanita ini ada dua teor. Yang pertama adalah karena adanya “penyerbuan” serta “perpecahan” dan karena adanya “percampuran”. Sedangkan teori yang kedua adalah adanya gejala tabu.
Menyangkut masalah tabu, dalam teori perbedaan penggunaan bahasa antara pria dan wanita ada dua teori. Teori yang pertama adalah teori tabu, dan teori yang kedua adalah teori sistem kekerabatan. Teori tabu menyebutkan bahwa perbedaan penggunaan bahasa oleh pria dan wanita adalag karena gejala tabu dalam masyarakat. Kata ‘ngabuburit’ jika pada masyarakat sunda adalah suatu yang wajar dan biasa akan tetapi pada bahasa Jawa-Banjar (campuran) artinya sudah berbeda dan dianggap tabu karena bermakna ‘mencium pantat’ (Rozi, 2013). Teori tabu yang seperti ini bisa menyebabkan perbedaan antara pria dan wanita pada beberapa bahasa. Teori sistem kekerabatan memunculkan sebuah teori jika bahasa mengalami perbedaan bukan hanya karena tabu melainkan juga karena hubungan kerabat dan jenis kelamin. Akan tetapi yang harus diingat, perbedaan ini disebabkan karena penuturnya bukan tuturannya.
Bahasa Koasati adalah bahasa yang diperhatikan dalam sosiolingustik karena juga membedakan kosakata antara pria dan wanita. Wanita koasati umumnya lebih konservatif daripada prianya oleh karena itu, wanita Koasati lebih menguasai ragam baku daripada pria. Selain masalah kekonservatifan, sikap sosial dari masyarakat tutur juga menyebabkan adanya perbedaan ragam bahasa. Dalam bahasa Inggris, wanita cenderung menggunakan bahasa baku untuk prestise dan sebagai peranan sosial. Selain itu, wanita juga pelopor perubahan untuk menggunakan bahasa ragam baku daripada pria yang lebih suka dengan bahasa-bahasa inovatif.
Di Indonesia yang memiliki beragam bahasa. Kedudukan bahasa Indonesia dianggap tinggi dan lebih berprestise sehingga kaum wanita lebih sering menggunakan bahasa tersebut dari pria meskipun lebih banyak pria yang bisa menggunakan bahasa Indonesia. Akan tetapi, wanita Indonesia juga masih sama dengan wanita-wanita lainnya yang konservatif karena wanita Indonesia lebih senang dengan bahasa Ibu misalnya bahasa Jawa. Ini artinya, dimanapun wanita berada wanita lebih suka dengan bentuk bahasa baku dan lebih suka dengan kekonservatifan. Menurut saya, ini dikarenakan sifat lahiriah dari wanita itu sendiri.
Selain bahasa pria dan wanita, bahasa dari seorang dengan jenis kelamin wanita-pria (waria) pun menjadi ragam tersendiri. Di Indonesia khususnya, waria biasa mengguanakan ragam bahasa rahasia yang hanya biasa digunakan di antara mereka saja. Ragam bahasa wria mempunyai 2 kaidah. Kaidah yang pertama adalah perubahan bunyi dan yang kedua adalah karena penciptaan kosakata baru.

Daftar Rujukan
Ibrahim, Abd. Syukur. 1995. Sosiolinguisti: Suatu Model Fungsional Bahasa. Malang: Universitas Negeri Malang.
Rozi, Ahmad. 2013. Mengapa Ngabuburit Dianggap Tabu? http://bahasa.kompasiana.com/2013/07/21/mengapa-ngabuburit-dianggap-tabu-578567.html (online). Diakses pada tanggal 5 Oktober 2013.

0 komentar:

Posting Komentar

Minta komentarnya dong, Kak! :)