20 Agu 2014

Terkenang Simbah

Tak pernah kusangka, hari raya menjadi sebuah hari yang sangat berbeda tanpa kehadiran mereka berdua: kakek dan nenekku.
Awal tahun ini, di masa liburan semester perkuliahanku, secara tiba-tiba keluarga kecil kami mendapatkan telepon dari kerabat yang rumahnya berdampingan dengan kakek. Katanya, kakek jatuh dan tak sadarkan diri. Keluarga kecil kami panik takut ada apa-apa dengan kakek. Ibu dan Bapak yang waktu itu tengah bersiap-siap untuk sebuah acara, langsung membatalkan acara itu dan bergegas menuju rumah sakit. Di rumah sakit, dokter mengatakan kakekku mengalami stroke. Entah stroke itu akibat dari jatuhnya, ataukah sebab dari jatuhnya. Kakekku koma, tak membuka mata sama sekali. Yang kutahu bahwa di masih ada adalah nafasnya yang memburu dengan bantuan alat pernafasan serta sebuah alat pendeteksi detak jantung (aku tidak tahu namanya) yang masih berbunyi “tut tut tut”. Tiga hari kakekku di rumah sakit, aku pergi mengunjunginya. Hanya berselang beberapa menit setelah kedatanganku, nafas kakek tersengal dan alat pendeteksi detak jantung berbunyi “tut” panjang. Tak ada diagram yang seperti gunung lagi, semuanya seperti dataran: lurus. Beberapa detik kemudian, dokter dan perawat-perawat berlarian menuju ruang kakek dan memberi alat kejut. Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Begitu mereka menghitung. Aku pun tak pernah menyangka, saat itu aku berada tepat di depan Izrail yang sedang mengambil nyawa kakekku.
Pertengahan tahun ini, tepat pada hari terakhir Ujian Akhir Semester (UAS), Bapakku telepon. Katanya, nenek pingsan dan tak sadarkan diri: persis dengan kejadian kakekku. Bapak memintaku pulang segera setelah selesai UAS. Dia tak mengatakan apa-apa, hanya menyuruhku pulang. Tapi aku tahu, dia khawatir nenek mengalami hal yang sama dengan kakek. Sama halnya dengan aku. UAS-ku hari itu berlangsung satu hari penuh, maka aku langsung pulang keesokan harinya dengan meninggalkan kamarku yang masih berantakan akibat kehebohan tugas-tugasku di masa Minggu UAS. Apalagi alasannya jika bukan karena telepon itu. Beberapa minggu setelah nenek di rawat di rumah sakit, nenek boleh pulang. Nenek terdiagnosis stroke, mengalami koma, dan tetap tak sadarkan diri. Maka, dokter mengatakan jika nenekku lebih lama di rumah sakit, dia justru akan terserang banyak penyakit. Keluarga kami pun membawanya pulang dan dirawat di rumah. Hari ke hari, kesadaran nenek mulai membaik: membuka mata, menggerak-gerakkan tangan dan mendapatkan asupan makanan. Tidak lagi menggunakan infus seperti ketika masih di rumah sakit. Keluarga kami secara berganti-ganti mendampingi nenek. Pakdhe, budhe, paklek, bulek, cucu-cucunya, semuanya urun tangan merawat nenek. Satu bulan semenjak pingsannya, nenek tak menunjukkan perkembangan lebih lanjut selain membuka mata dan menggerakkan tangan. Itupun hanya beberapa menit, tidak lebih. Hari itu, hari ke dua puluh lima, setelah Shubuh bapakku mengunjungi nenek yang dirawat di rumah bulek. Tidak lama dia pulang, mengganti baju dan berangkat lagi. Berselang beberapa menit, ibuku mendapat telepon dari bapak. Ia pun bergegas menuju rumah bulek: nenek telah tiada.
Di tahun yang sama, tahun ini, aku tidak memiliki simbah sama sekali. Lebaran menjadi amat sangat sepi: sepi dalam makna yang sebenarnya karena tidak ada lagi yang menjadi tujuan ‘pulang’. Di tahun lalu, lebaranku masih ‘nyenyak’ bersama mereka. Masih juga mendapatkan THR dari mereka. Haha. Tahun ini, sangat lain. Tak ada lagi suara ramah mereka ketika menjamu tamu dan tak ada lagi THR untukku. Baiklah, kalimat terakhir hanya gurauan saja.
Semoga Allah merahmati mereka berdua dan memasukkannya menjadi golongan orang-orang beriman.


0 komentar:

Posting Komentar

Minta komentarnya dong, Kak! :)