21 Jun 2014

Mengaca Sejarah Pers Masa Lalu


Tempo, DeTik, dan Editor adalah bukti nyata betapa kepemerintahan Soeharto otoriter dan diktator. Tepat 20 tahun yang lalu, tiga majalah yang dianggap menentang rezim tersebut dibredel, pemimpin redaksinya dipaksa mundur, wartawannya dipecat secara paksa (bahkan menjadi buron). Karya-karya jurnalistik yang "berbeda", haram hukumnya. Bukan hanya karya jurnalistik sebenarnya, bahkan karya-karya sastra seperti puisi dan novelpun ikut diawasi. Lihat saja bagaimana Widji Tukul yang hingga kini tak diketahui rimbanya hanya karena menulis sebuah puisi hanya dengan satu kata, "Lawan!".

Usia saya yang tak jauh beda dengan usia "ulang tahun" pembredelan majalah-majalah itu, hingga kini tak tahu-menahu bagaimana sesungguhnya situasi kala itu. Mencari tahu pun, tak. Memang kejadian kala itu terkesan remeh dan wajar bagi saya dan kawan-kawan seumuran. Seperti halnya saat kami membaca buku sejarah di kelas sejarah. Hanya hafalan, seperti biasa. Seperti ketika menghafal bagaimana VOC datang ke Nusantara. Tidak ada rasa. Tak disangka, tahun-tahun itu memang benar-benar kejam dan "kurang ajar".

Barangkali, jika saya hidup di zaman itu dan menulis seperti ini, saya sudah buron sekarang, haha. Tak ada kebebasan pers. Tak ada kebebasan menyuarakan suara rakyat.

Saat ini, setelah dua puluh tahun menjelang, pers telah menjelma sebagai sosok yang baru. Tak lagi terikat seperti dulu, tapi buas seperti macan tanpa kandang, bahkan menjadi raja dari raja.

Malang, 21 Juni 2014
ALR

0 komentar:

Posting Komentar

Minta komentarnya dong, Kak! :)